Friday 9 March 2018

Mendoakan Kehancuran Amerika Serikat: Sebuah Kebiasaan yang Tidak Sehat

kebakaran california 2017
Kebakaran hutan di California/edition.cnn.com

Periode Desember tahun lalu di Amerika Serikat, tepatnya di Negara Bagian California, dilanda bencana kebakaran hutan hebat. Berbagai media on-line berlomba memberitakan kejadian tersebut. Tidak sedikit pula di antara mereka yang menilai, bahwa kebakaran hutan yang mulai merambat sejak 4 Desember itu adalah kebakaran terdahsyat sepanjang sejarah California, bahkan Amerika Serikat. Kebakaran tersebut sudah memaksa ratusan ribu warga mengungsi ke tempat yang lebih aman, serta ribuan personel pemadam kebakaran untuk turun tangan.
Jika dikaitkan dengan sebuah kejadian lain yang sedang panas pada saat itu, maka kebakaran hebat tersebut terjadi tidak lama setelah Donald Trump menyatakan pernyataan yang sukses memicu banyak protes dari masyarakat global: Mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Akibatnya, banyak pihak yang mengaitkan kebakaran hutan di California adalah perpanjangan tangan (red: azab) dari Allah atas sikap dan pernyataan Donal Trump tersebut.
Komentar-komentar seperti, “Amin, amin, amin Ya Rabbal Alamin, semoga besok giliran rambut Donald yang kebakaran habis.”, “Azabnya dikredit. Setelah Trump kelu lidah, negaranya akan dibumihanguskan.”, “Semoga negerimu luluh lantak, Wahai Donal Bebek.”, “Itu adalah azab dari Allah.”, dan komentar-komentar yang bernadakan mensyukuri bencana tersebut yang lain sangat mudah ditemukan di kolom komentar berita kebakaran tersebut. Hanya secuil komentar yang menunjukkan rasa bela sungkawa terhadap kejadian tersebut.
Miris. Itulah yang seketika saya rasakan saat membaca komentar-komentar yang kebanyakan justru didominasi oleh orang-orang yang menginginkan agar bencana tersebut semakin meluas, dan bahkan dalam level yang paling ekstrim: menginginkan agar Amerika Serikat (sebagai sebuah negara) hancur sehancur-hancurnya.
Saya sedikit memahami luapan amarah yang dirasakan mereka terhadap pernyataan Donal Trump tersebut. Namun, apakah sikap menginginkan, mendoakan sebuah negara hancur sehancur-hancurnya akibat ulah seorang individu saja (dalam kasus ini Donald Trump) adalah sikap yang dewasa, sikap yang waras? Saya rasa tidak.
Melihat banyaknya diksi khas Islam di banyak kolom komentar di mana berita kebakaran California dimuat, membuat saya lebih miris. Miris, karena dari sana saya bisa menilai (meski tidak sepenuhnya benar) bahwa orang-orang yang mensyukuri terbakarnya hutan di California serta menginginkan agar Amerika Serikat sebagai sebuah negara hancur adalah mereka yang beragama Islam.
Mereka agaknya belum tahu atau tidak mau tahu, bahwa di Amerika Serikat sana juga banyak bermukim orang Islam, saudara-saudara seiman mereka. Mereka sudah mendeklarasikan, bahwa Amerika Serikat adalah tanah air mereka. Sebagai informasi tambahan, Islam adalah agama dengan pemeluk terbanyak ketiga di Amerika Serikat, setelah Kristen dan Yahudi. Dan tiap waktunya jumlah pemeluk Islam terus bertambah secara signifikan. Dan Islam sudah memiliki sejarah panjang di tanah Amerika Serikat, sejak meletusnya konflik saudara di negara-negara Timur-Tengah.
Dengan jumlah yang terus meningkat, tidak menutup kemungkinan, bahwa di antara sekian ratus ribu pengungsi akibat bencana kebakaran tersebut, banyak yang beragama Islam. Serta tidak menutup kemungkinan pula di antara mereka banyak yang terdiri dari anak-anak dan wanita. Jika sudah begini, maka menginginkan kehancuran Amerika Serikat sebagai sebuah negara sama dengan menginginkan kehancuran Islam itu sendiri yang sejatinya sudah menjadi bagian dari sejarah panjang Amerika Serikat sebagai sebuah negara.
Kaum muslim di Amerika Serikat, terutama di California, barangkali akan sangat kecewa jika mereka mengetahui banyak komentar yang justru menjatuhkan semangat mereka di tengah bencana yang sedang mereka alami. Dan mereka akan lebih kecewa jika mereka mengetahui bahwa yang berkomentar justru adalah saudara-saudara seiman mereka.
Jika memang tidak sepakat, atau bahkan membenci pernyataan-pernyataan atau kebijakan-kebijakan politik Donald Trump, maka timpakanlah kekesalahan kalian cukup kepadanya dan paling banter kepada orang-orang pemerintahan Amerika, jangan kepada Amerika Serikat secara keseluruhan. Terlebih sampai mengutuki dan mendoakan tanah Amerika Serikat agar hancur-sehancurnya.
Perbanyak membaca artikel dan buku terkait konflik Palestina-Israel, mengikuti kajian-kajian ilmiah terkait hal tersebut, mengikuti aksi-aksi penolakan terhadap kebiajakan-kebijakan politik Amerika Serikat, adalah beberapa cara paling konkrit agar dapat memahami akar permasalahan dari peran Amerika Serikat dalam konflik Palestina-Israel. 
Atau jika kesemua hal tersebut dinilai terlalu membuang banyak waktu, setidaknya, perbanyaklah berdoa, tidak hanya untuk rakyat Palestina, tetapi juga kepada rakyat Amerika Serikat (terutama para Muslim), agar tanah airnya tersebut tidak lagi menjadi bahan caci-maki rakyat dunia secara terus-menerus akibat sikap kepala negara mereka dan kelompok-kelompok pendukungnya. 
Salam...

Saturday 3 March 2018

Menakar Tingkat Kemampuan Bercerita Eichiro Oda Lewat One Piece

eiichiro oda one piece
Eichiro Oda/alabn.com

Beberapa waktu yang lalu, saya baru saja mendapat beberapa seri terbaru film anime One Piece dari seorang kawan. Sudah sejak awal masuk perkuliahan saya mulai cukup rutin menjadikan film anime sebagai hiburan. Dan bisa dikatakan, berpuluh-puluh judul anime dari berbagai genre sudah saya tonton.
Namun dari berpuluh-puluh itu, hanya One Piece yang benar-benar bisa melekat di benak (mungkin di hati juga) sampai sekarang. Bukan sekedar disebabkan anime tersebut masih berjalan sampai sekarang. Alasannya lebih daripada itu.
Sebagai catatan, periode awal masuk kuliah saya adalah di tahun 2012. Dan di tahun tersebut sudah ada beberapa film serial anime yang masih berjalan (on going) sejak dirilis pertama kali di penghujung tahun 90-an dan pertengahan tahun 2000-an selain One Piece.
Beberapa yang paling populer adalah Bleach dan Naruto. Saya memilih Bleach dan Naruto sebagai pembanding One Piece, karena menurut saya keduanya merupakan pesaing teratas One Piece jika dilihat dari segi panjang dan (yang terpenting) kualitas alur cerita.
Saya mengakui, bahwa saya terpikat dengan kualitas alur cerita ketiga anime tersebut, semuanya begitu menarik untuk diikuti. Namun patut disayangkan, ketertarikan saya tersebut hanya tersisa untuk One Piece (dan itu bertahan sampai sekarang).
Sedangkan untuk Bleach dan Naruto, semakin keduanya hendak mencapai akhir cerita, semakin menurun kualitas alur cerita yang disajikan keduanya. Alhasil, pada saat itu juga, saya memutuskan untuk menghentikan menikmati Bleach dan Naruto, meski keduanya masih menyisakan sekitar seratusan episode lebih.
Untuk Bleach, alur cerita menarik mereka berakhir saat Ichigo dan kawan-kawan sudah berhasil membebaskan Orihime Inoue dan mengalahkan semua anggota Espada, termasuk sang pemimpin besar mereka, Aizen. 
Alur cerita setelah itu sudah kurang menarik diikuti. Saya rasa penyebab utamanya adalah mindset saya tentang Bleach yang sudah terlanjur terkotakan, bahwa Bleach selalu identik dengan kelompoknya Ichigo melawan Espada.
Hal tersebut saya rasa sebenarnya cukup wajar terbentuk pada mindset para penikmat bleach secara umum, karena dari episode pertama hingga 300-an, alur cerita utama Bleach memang diarahkan pada pertarungan akhir kelompok Ichigo melawan Espada. Di saat karakter-karakter Espada yang terlanjur melekat dengan Bleach terganti oleh villain lain, Bleach sudah seperti kehilangan salah satu unsur terpentingnya. Pada saat itu juga, mood menonton Bleach saya pudar, lalu memutuskan untuk berhenti menikmatinya.
Sedangkan untuk Naruto. Sejujurnya saya merasa kalau alur cerita Naruto baru bisa benar-benar dinikmati saat sudah memasuki serial Naruto Shippuden. Alasan yang pertama adalah banyak misteri sejarah dunia ninja yang mulai terkuak. Yang paling epik menurut saya, adalah terkuaknya latar belakang pembantaian orang-orang dari Klan Uchiha oleh Uchiha Hitachi.
Alasan yang kedua (dan ini yang paling menentukan cerita akhir Naruto Shippuden), kemunculan organisasi Akatsuki, yang menempati posisi penting sebagai villain utama di serial ini. Dengan kemunculannya di banyak episode, sudah menjadikan Akatsuki sebagai identitas penting Naruto Shippuden (layaknya Espada pada Bleach). Dengan kemunculannya pula, cerita akhir serial Naruto Shippuden sudah mulai bisa diprediksi dengan jelas, yakni cerita berakhir saat semua anggota Akatsuki sudah kalah.
Nah, Beberapa hal yang membuat cerita Naruto kurang menarik lagi untuk diikuti, adalah kemunculan villain lain yang tidak memiliki keterkaitan kuat dengan alur cerita yang sudah tersaji beratus-ratus episode sebelumnya, tetapi justru dijadikan sebagai villain utama di akhir cerita.
Taruhlah kemunculan kembali Uchiha Madara. Saat dibangkitkan kembali dari kematian, Madara memang bisa dikatakan menjadi saksi sejarah awal perkembangan dunia ninja, namun tetap saja porsi kemunculan Madara tidak setajam dan semendalam organisasi Akatsuki.
Satu lagi alasan yang membuat saya cukup kecewa dengan alur cerita Naruto Shippuden, adalah kemunculan Kaguya Otsutsuki, yang malah sukses menyingkirkan Madara, yang sebelumnya menempati posisi penting sebagai villain utama. Sejujurnya, saya sendiri mendapat informasi kemunculan Kaguya hanya dari hasil membaca artikel di sebuah situs. Mungkin dikarenakan saya sudah berhenti menikmati Naruto Shippuden jauh sebelum kemunculan Kaguya.
Dalam hal ini, saya masih cukup memaklumi kemunculan Madara, karena setidaknya dia sudah pernah dimunculkan di beberapa episode Naruto dan Naruto Shippuden, meski pada porsi yang relatif kecil. Namun tidak dengan kemunculan Kaguya, yang sama sekali tidak pernah dimunculkan di alur cerita sebelum-sebelumnya. Saya menilai, bahwa kemunculannya hanya sekedar untuk memperpanjang cerita Naruto Shippuden yang sejatinya sudah tamat sejak Uchiha Madara dikalahkan.
Nah, kalau dicermati lebih mendalam, kedua anime tersebut (dan banyak anime lain yang beralur cerita panjang) memiliki pola penceritaan yang sama: memunculkan villain utama, lalu cerita akan tamat jika villain tersebut sudah dikalahkan. Menariknya, pola penceritaan tersebut tidak saya temukan pada One Piece.
Oleh karena itu, saya berani meyakini, bahwa Eichiro Oda (Oda-san) lewat One Piece-nya, patut dinobatkan sebagai mangaka terbaik dalam hal menemukan serta mengembangkan ide cerita. Untuk penjelasan yang lebih detail terkait hal tersebut, mari kita petakan terlebih dulu 3 kekuatan besar yang berkonflik di dalam dunia One Piece: Bajak laut, pemerintah dunia (angkatan laut), dan pasukan revolusiner.
Sebagai penikmat One Piece, saya merasa, bahwa saya tidak bisa menilai secara egois bahwa pemerintah dunia adalah villain murni di dalam One Piece, meski sudah banyak fakta yang menunjukkan banyaknya kebobrokan yang terjadi di kursi pemerintahan dunia, terutama yang dilakukan oleh para Tenryubito.
Sebagai permisalan, jika pemerintah dunia kita sejajarkan pada posisi yang sama dengan Akatsuki di Naruto Shippuden atau Espada di Bleach (sebagai villain utama yang harus dikalahkan), maka kondisi dunia di dalam One Piece akan kacau sekacau-kacaunya saat Pemerintah Dunia dikalahkan, karena nantinya di akhir cerita tidak ada lagi kelompok yang mampu mengontrol secara luas kebringasan para bajak laut.
Begitu juga jika saya menempatkan pasukan revolusioner sebagai villain, meski mereka adalah oposisi pemerintah dunia, namun tidak sedikit pula konflik yang meledak antara mereka dengan beberapa kelompok bajak laut (seperti konflik mereka dengan Bajak Laut Kurohige, misalnya). Dan rasanya, saya juga tidak bisa menempatkan bajak laut sebagai villain murni, mengingat karakter utama dalam One Piece yang seorang bajak laut.
Lalu pertanyaan yang muncul, siapa yang lebih pantas dikalahkan untuk bisa mengakhiri cerita alur cerita One Piece?
Nah, pada poin ini lah mengapa saya berani mengatakan sebelumnya, bahwa Oda-san patut dinobatkan sebagai mangaka terjenius dalam menemukan dan mengembangkan ide cerita. Dia tidak menempatkan kelompok tertentu untuk dikalahkan (villain) untuk mengakhiri cerita One Piece, melainkan menempatkan “sebuah tujuan yang harus dicapai” untuk mengakhiri cerita.
Iya, Oda-san baru akan mengakhiri cerita One Piece saat ada salah satu karakter di dalamnya bisa mencapai tujuan tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan adalah harta karun One Piece. Dengan kata lain, Oda-san memilih konsep sebuah petualangan (an advanture) pada karyanya tersebut. Hal tersebutlah yang menurut saya jarang atau bahkan tidak dimiliki oleh anime-anime lain.
Sebagai catatan tambahan, sebenarnya ada juga mangaka yang memiliki pandangan ide serupa dengan Oda-san, yakni Akira Toriyama lewat Dragon Ball-nya. Narasi utama dari Dragon Ball adalah petualangan kelompok Son Goku dalam menemukan 7 bola naga.
Namun sayangnya, narasi utama tersebut tidak dijadikan klimaks dari cerita Dragon Ball itu sendiri, melihat Toriyama-san masih terus melanjutkan cerita Dragon Ball meski Son Goku dan kelompoknya sudah berhasil menemukan 7 bola naga yang dimaksud. Fokus cerita dari Dragon Ball justru tidak kepada 7 bola naga sesuai yang dinarasikan, tetapi lebih kepada misi menyelematkan bumi dari musuh-musuh yang menyerangnya.
Kembali kepada Oda-san dengan One Piece-nya. Berkat konsep petualangan yang diusungnya, maka dunia One Piece terasa begitu luas, bahkan nyaris tanpa batas. Tempat-tempat dan karakter-karakter yang dimunculkan Oda-san begitu beragam.
Ditambah, Oda-san selalu memperkuat identitas tempat dan para karakter di dalamnya yang ditemui di tiap petualangan karakter utama One Piece (Bajak Laut Topi Jerami) dengan deskripsi dan cerita-cerita masa lalu yang detail, sehingga membuat para penikmat One Piece, khususnya saya, benar-benar paham dengan apa yang sedang dinikmati. Tidak lupa juga, dia juga memberi banyak kejutan dengan banyak menampilkan pertalian ikatan masa lalu (sejarah) antara karakter yang satu dengan yang lain.
Untuk versi anime, One Piece sudah berhasil menembus angka fantastis, yakni 800 episode. Di angka yang sudah terbilang fantastis untuk ukuran episode film anime, alur cerita One Piece masih sangat layak untuk dinikmati.
Saya memprediksi, bahwa angka tersebut akan terus bertambah, bahkan bisa mencapai angka 1000 lebih, karena melihat masih banyak karakter dan tempat di dunia One Piece yang belum dimunculkan Oda-san secara penuh. Serta tidak ketinggalan juga masih banyak misteri yang belum terpecahkan, seperti misteri “The Will of D”, misalnya, yang kerap kali justru menjadi ajang perdebatan para penggemar One Piece.
Melihat beberapa hal yang sudah diurai di atas, sekali lagi, Oda-san lewat One Piece-nya sangat layak dinobatkan sebagai mangaka terbaik dalam segi menemukan dan mengembangkan ide cerita. Dalam menilai hal tersebut, mau tidak mau saya harus membandingkannya dengan Anime yang lain, dan pilihan saya jatuh kepada Bleach dan Naruto (Naruto Shippuden). Mengingat keduanya juga memiliki alur cerita yang cukup panjang, jika dibanding anime-anime yang lain.
Sebagai penyuka film, termasuk anime di dalamnya, kedudukan ide dan alur cerita sebuah film menjadi priotas utama saya dalam memilih dan memilah bahan tontonan. Dan Oda-san melalu One Piece-nya sudah dengan secara total menyediakan bahan tontonan yang saya inginkan. “Arigatou, Oda-san!” Atau saya harus memanggilnya, “Oda-sama!”
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html