Poster ReLife/esty.com
Jepang sepertinya tidak akan pernah
menemukan titik buntu dalam menggali sisi-sisi remeh dalam hidup, untuk
selanjutnya disajikan dalam bentuk narasi cerita anime yang menarik. Seperti
yang mereka lakukan tahun 2016 lalu, melalui serial Anime ReLife. Melalui
ReLife, Jepang mencoba menyinggung soal bagaimana orang-orang secara tidak
sadar seringkali mengabaikan kesempatan-kesempatan yang hadir di saat sekarang,
yang celakanya seringkali berdampak buruk di masa mendatang.
ReLife berfokus pada cerita seorang
laki-laki Jepang berusia 27 tahun, Arata Kaizaki, yang mengundurkan diri dari
pekerjaannya setelah baru 3 bulan bekerja. Catatan buruk tersebut otomatis
kerap menyulitkannya memperoleh pekerjaan yang baru. Alhasil dia hanya mampu
memperoleh pekerjaan paruh waktu, sebagai kasir di sebuah mini market. Tidak
memiliki pekerjaan tetap di usia yang sudah 27 tahun, di negara semaju Jepang,
jelas merupakan noda. Jika teman-teman satu koleganya mengetahui hal itu, maka
dia harus bersiap menanggung rasa malu seumur hidup.
Ada yang pernah bilang, bahwa
sebenarnya manusia lebih takut kepada rasa malu, dibanding dengan kematian. Dan
itu juga yang dirasakan Kaizaki pada saat itu. Demi menghindari rasa malu, dia
rela berpura-pura menjadi pegawai kantoran di hadapan para koleganya. Dia
bahkan tidak menghentikan kebiasaan nongkrongnya bersama mereka di jam-jam
malam sepulang dari kantor demi menyempurnakan kebohongannya. Dengan mengenakan
setelan jas khas orang kantoran, dia berbincang soal hari-harinya di kantor
layaknya pegawai kantor sungguhan.
Hanya mengandalkan upah dari bekerja
paruh waktu sebagai penopang hidup seorang laki-laki berusia 27 tahun tidaklah
pernah cukup, terlebih jika hidup di Jepang yang terkenal dengan biaya hidupnya
yang tinggi. Karenanya, sampai saat itu Arata masih mendapat suntikan dana dari
ibunya. Namun di usianya yang ke 27 sekarang, melalui panggilan telelpon di
suatu malam selepas dia mabuk, ibunya memutuskan untuk tidak membiayayainya
lagi. Alasannya sederhana: karena dia sudah berusia 27 tahun.
Namun tidak lama setelah itu, dia
dihampiri oleh Yoake Ryo, yang memperkenalkan diri sebagai petugas dari
laboratorium ReLife. Tanpa perlu memperkenalkan diri terlebih dulu, Ryo
langsung menawari Arata untuk menjadi subjek percobaan ReLife selama setahun
penuh. Tentu siapa saja akan ragu untuk menerima tawaran sebagai kelinci
percobaan, terlebih tawaran itu berasal dari orang asing.
Namun dengan jaminan bahwa selama
setahun penuh semua biaya hidup subjek akan ditanggung oleh laboratorium
ReLIfe, serta ditambah memiliki kesempatan dipromosikan untuk bekerja di tempat
yang sama, maka keragu-raguan Arata di awal tadi hilang begitu saja. Dengan
penuh percaya diri, Arata menandatangani kontrak yang disodorkan.
Dalam percobaan ReLife, subjek
penelitian yang dipilih adalah orang-orang berusia dewasa yang dinilai memiliki
kepribadian baik, lurus, tidak neko-neko, namun memiliki masalah
pelik dalam hidupnya. Atau dalam kasus Kaizaki: belum memiliki pekerjaan tetap
di usia 27 tahun. Selanjutnya (nah ini yang menarik), selama setahun penuh
subjek dituntut untuk menjalani kembali kehidupan remaja mereka, tepatnya
masa-masa Sekolah Menengah Atas (SMA). Mengapa masa SMA? Karena masa SMA
dinilai sebagai salah satu reaching point terpenting
orang-orang dalam menentukan arah hidup mereka.
Di sana mereka dituntut untuk
memaksimalkan setiap momen dan kesempatan untuk nantinya dapat memperbaiki
kehidupan mereka di masa sekarang. It’s like having back to the past,
tapi dengan orang-orang dan lingkungan yang benar-benar baru dikenal subjek.
Lalu demi menyamarkan tubuh dewasa si
subjek, laboratorium ReLife telah menyiapkan sebuah pil yang memiliki efek
merubah tubuh seorang dewasa menjadi tubuh remajanya. Dan tentu saja perubahan
itu tidak mempengaruhi kemampuan akal dan keadaan psikologis mereka sebagai
orang dewasa. Hampir mirip dengan pil yang diminumkan Organisasi Hitam kepada
Sinichi Kudo.
Dalam setahun penuh, Kaizaki Arata
akan kembali menjadi anak SMA, dan memulai kembali kehidupan remajanya bersama
anak-anak SMA yang baru akan dikenalnya. Dengan harapan, dia mampu
memaksimalkan semua momen dan kesempatan selama di SMA untuk memperbaiki
kehidupannya yang (bisa dibilang) suram untuk seorang laki-laki Jepang berusia
27 tahun.
Dilihat dari konsep penceritaan
secara keseluruhan, penulisan cerita ReLife terbilang sederhana, terlebih jika
dilihat dari jumlah episodenya yang tidak banyak: hanya 13 episode, ditambah 4
episode versi OVA-nya. Namun hal itu tidak membuat ReLife kehilangan daya
jelajah cerita yang dimilikinya. Justru ReLife mampu mengeksplor cerita yang
sederhana itu menjadi lebih emosional.
Salah satu kekuatan penceritaan
ReLife adalah pada jumlah karakternya yang tidak banyak, serta cakupan ruang
konflik yang tidak terlalu muluk. Hal itu secara sadar mampu membawa kita untuk
terjun ke dalam konflik masing-masing karakter secara mendalam. Di sisi lain,
Arata yang ditempatkan sebagai karakter utama, tidak melulu menjadi center
of attention di setiap episode. Justru dia yang lebih sering menjadi
mediator di antara konflik karakter-karakter yang lain. Dengan kata lain,
setiap karakter di ReLife memiliki arc-nya masing-masing.
Seperti yang tersaji di bagian awal
cerita. Setelah di episode pertama kita diperkenalkan dengan gambaran umum
cerita ReLife, dan (tentu saja) karakter-karakter yang terlibat di dalamnya,
episode-episode selanjutnya akan membawa kita kepada pendalaman personal, serta
cakupan konflik masing-masing karakter.
Konflik antara Kariu dengan Hishiro,
misalnya, yang mendapat porsi besar di bagian awal cerita ReLife (tepatnya di
episode ke-2 sampai ke-5). Sepanjang penceritaan tersebut, pembangunan personal
Kariu yang pekerja keras namun keras kepala, serta Hishiro yang lemah dalam
bersosialisasi, mampu dibangun dengan perlahan, dan tidak terlihat
keburu-buruan samasekali di sana. Dari sana kita bisa mengenal mereka layaknya
kita menapaki secara bertahap proses-proses mengenal orang lain di kehidupan
nyata: slow, but when it reachs a particular
point, kita sudah merasa dekat dengan mereka.
Kemunculan Kaizaki di dalam konflik
Kariu-Misuzane, seperti yang sudah dijelaskan, tidak lebih dari seorang
penengah. Meski kemunculannya terbilang memiliki porsi yang besar, dan berperan
vital dalam twist penyelesaian konflik mereka, perhatian kita
(tetap) tidak akan terlepas pada dua karakter tersebut. Selama pengembangan
cerita pun kita akan selalu dibuat penasaran bukan oleh peran apa yang akan
dimainkan Kaizaki, melainkan oleh pergerakan masing-masing karakter yang
sebenarnya sedang berkonflik, atau dalam contoh ini: Kariu dan Misuzane. Ya,
selagi konflik masih belum menemukan twist-nya, mereka berdua lah
yang sukses menjadi center of attention.
Dari sana, saya melihat semacam
terdapat pola penceritaan di dalam ReLife. Pola penceritaan yang sama yang
selalu digunakan oleh penulis cerita dalam memperkenalkan karakter-karakter
ReLife yang lain. Melalui pola tersebut, proses pendalaman personal mereka
terbilang berhasil dikembangkan dengan halus dan perlahan. And as the
story goes, pada suatu titik tertentu, dengan sendirinya kita tidak hanya
merasa mengenal mereka, namun juga bersimpati kepada mereka.
Karakter-Karakter ReLife/hdwallpaperim.com
Cerita ReLife yang mengambil latar
belakang kehidupan remaja SMA di Jepang benar-benar bisa dinikmati dengan
dihadirkannya karakter-karakter yang memiliki pembawaan yang begitu menyenangkan
(likeable), dan terasa alami (polos) as a teenager of senior
high. Konflik-konflik yang dihadirkan di antara mereka juga sebenarnya
hanya berkutat pada hal-hal remeh, jika dilihat dari kacamata orang dewasa.
Seperti saat Kariu menyukai Oga (salah
satu karakter lain), namun Oga sama sekali tidak peka dengan keadaan tersebut.
Atau saat Kariu merasa emosional saat tidak dianggap oleh Misuzane sebagai
saingannya dalam perebutan posisi ketua kelas. Ada juga soal kecemburuan
beberapa karakter saat orang-orang yang disukainya dekat dengan orang lain. Dan
meski terdapat beberapa scene melow dramatis, semuanya mampu
berkembang dan tergambar begitu alami untuk ukuran kehidupan masa-masa SMA,
sehingga tidak menjadikan ReLife sebagai anime yang terlalu cengeng dan
berlebihan.
Perlu diingat, bahwa beberapa anime cenderung berlebihan dalam menggambarkan
karakter-karakternya. Banyak karakter Anime yang digambarkan sebagai seorang
bocah SD atau SMP, namun tindakan dan substansi dialog yang mereka bawa terlalu
dewasa. Hal itu nyaris tidak ditemukan di ReLife. Purely, dialog dan monolog
khas orang dewasa hanya keluar dari karakter-karakter yang notabenenya adalah
orang dewasa (Kaizaki, Yoake, dan Onoya). Beberapa scene yang menghadirkan
keheranan beberapa karakter soal Arata yang mampu bersikap lebih dewasa
daripada yang lain bahkan dihadirkan untuk memperkuat unsur tersebut.
Kaizaki Arata menjadi siswa paling peka di kelasnya
Just for your information, anime ReLife sebenarnya adalah
hasil adaptasi dari manga dengan judul yang sama. Versi manganya sendiri
terdiri dari 222 chapter, sedangkan animenya hanya berdurasi 13 episode
ditambah 4 episode dalam versi OVA (total 17 episode). Jika dilihat secara kasar,
maka perbandingan jumlah tersebut (222 dengan 17) jauh dari proporsional.
Dan memang betul demikian. Jadi
menurut beberapa sumber, disebabkan oleh banyak faktor, terdapat banyak bagian
cerita dalam versi manga yang dipercepat/dipotong saat dituangkan ke dalam
versi animenya, terutama di empat episode versi OVA. Namun tetap, masing-masing
versi cerita masih diakhiri dengan ending yang sama.
Berbicara soal ending cerita
ReLife. Agaknya ending ReLife memiliki sedikit kemiripan dengan ending
dari Kimi no Na wa. Namun yang membedakannya adalah sang penulis ReLife agaknya
tidak mau meninggalkan jejak cerita yang menggantung. Dengan kata lain, dia
menginginkan ReLife benar-benar memberikan kesan end of story kepada
para penikmatnya. Hasilnya bisa dilihat di versi manga maupun animenya, dia
benar-benar mengakhiri cerita ReLife dengan ending yang sangat
gamblang.
Namun jika saya sedikit
membandingkan, maka ending ReLife bisa dikatakan tidak se-powerfull ending
yang disajikan oleh Kimi no Na Wa, terutama dalam aspek leaving
something behind audience’s mind. Kebanyakan orang yang selesai menikmati
Kimi no Na Wa, selain akan teringat dengan epicnya seluruh aspek
penceritaannya, mereka juga akan selalu membicarakan soal ending Kimi
no Na Wa yang tersaji bias.
“Kenapa, sih, endingnya ngegantung
kayak gitu? Kejadian apa nih yang bakal dialami sama si Mitsuha sama si Taki
setelah mereka saling tegur sapa di ending-nya? Apa mereka bakal
menjadi sepasang kekasih?” Dialog-dialog penuh rasa penasaran semacam itu lah
yang cenderung akan muncul ketika orang-orang mulai membicarakan Kimi no Na Wa.
Dan itu, menurut saya adalah kelebihan Ki mi no Na Wa yang tidak dimiliki oleh
ReLife.
Membandingkan kedua anime tersebut
pada dasarnya sudah tidak apple to apple sejak awal sebelum
memasuki meja produksi. Kimi no Na Wa yang merupakan anime versi movie tentu
memiliki konsep penceritaan yang jauh lebih matang dibanding anime serial
seperti ReLife. Namun dalam hal ini, saya rasa penulis ReLife seharusnya mampu
mengembangkan ending yang berdampak sama dengan Kimi no Na Wa. Dengan begitu,
ReLife akan mengalami sensasi serupa dengan Kimi no Na Wa: selalu menjadi bahan
pebicaraan meanrik banyak orang. And of course, it will be
leaving more impression in audience’s mind.
Ending Relife
Sebelum menyaksikan ReLife, saya tidak
memiliki referensi secuil pun tentang ceritanya, kecuali satu: romance. Secara
otomatis, saya mulai bertanya “Romance seperti apa yang akan tersaji di dalam
ReLife?” Pertanyaan itu secara perlahan mulai terjawab setelah meyaksikannya
secara utuh. Namun ReLife bukan melulu soal romance, namun juga soal keberanian
dalam mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup, yang tanpa sadar akan
membawa seseorang kepada titik capaian tertentu dalam hidup.
ReLife secara sadar akan membawa kita
pada ingatan-ingatan masa silam yang pada akhirnya sudah membawa kita pada pencapaian
hidup di titik sekarang. Namun di sisi lain, ingatan-ingatan tersebut
seringkali bercampur dengan banyak kesia-siaan dalam hidup yang tanpa sadar
sudah kita lakukan. Dan setelahnya, kita akan dihadapkan dua pilihan: Terus
berkubang pada lumpur penyesalan masa silam, atau memilih bergerak untuk
memperbaikinya.
0 comments:
Post a Comment