Sunday 20 January 2019

Review: Spotlight (2016)


Poster Spotlight/imdb.com

Secara sederhana, kerja-kerja jurnalistik bisa dibilang sukses jika karya yang dihasilkan mampu menggerakan hati dan juga raga masyarakat secara luas. Tahun 2002 menjadi salah satu tahun yang bersejarah bagi dunia jurnalistik Kota Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.
Sebab The Boston Globe (selanjutnya dibaca The Globe), salah satu perusahaan surat kabar di sana, melalui tim Spotlight-nya, sukses menerbitkan artikel yang berisi pengungkapan salah satu skandal terbesar di kota tersebut: Pencabulan anak-anak oleh para pastur.
Tidak berselang lama setelah The Globe menerbitkan artikel tersebut, dering telepon di kantor tim Spotlight tidak ada habisnya. Panggilan-panggilan itu berasal dari para korban (yang sekarang sudah dewasa) yang pada akhirnya tergerak untuk melaporkan kasus pelecehan seksual yang pernah mereka alami ketika masih anak-anak.
Mengejutkannya, panggilan-panggilan tersebut tidak terbatas berasal dari wilayah Boston saja, tapi juga sampai kepada wilayah-wilayah di luar wilayah negara bagian Massachusetts, dan bahkan sampai di beberapa wilayah di luar Amerika Serikat.
Pada poin ini maka tidak berlebihan, jika banyak pihak yang menyebut, bahwa The Globe, melalui tim Spotlight, pada saat itu telah berhasil mengungkap salah satu kasus skandal terbesar di dunia.
---
Spotlight merupakan tim liputan berita investigasi yang terdiri dari 4 jurnalis dari koran harian The Globe yang bermarkas di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.
Demi meningkatkan minat baca koran The Globe, Marty Baron (Liev Schreiber), seorang editor baru di The Globe, berpendapat bahwa tidak ada jalan lain selain meliput sebuah peristiwa secara mendalam yang dampaknya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat Boston.
Didorong oleh hal itu, maka dalam sebuat pertemuan di hari pertamanya bekerja, Baron langsung menyarankan untuk lebih jauh menindak lanjuti kolom Eileen McNamara (salah satu kolumnis di The Globe) soal kasus seorang pastur yang mencabuli 80 orang anak di bawah umur di Kota Boston.
Kasus pencabulan pastur terhadap anak-anak sebenarnya adalah kasus yang sudah mulai ditulis dari tahun 90-an, dan sampai tahun 2002, sudah beberapa kali ceritanya diangkat di koran The Globe. Namun Baron menilai itu semua belum cukup. Dia menginginkan hasil liputan yang jauh lebih mendalam daripada sekedar liputan yang sifatnya harian.
Dia percaya pengungkapan kembali kasus tersebut secara lebih mendalam dapat secara langsung berdampak terhadap kehidupan dan cara pandang masyarakat Boston. Sebuah keputusan yang sangat berani, sekaligus terlalu beresiko, menurut orang-orang di The Globe pada saat itu.
Lebih jauh lagi, dia menginginkan The Globe mampu memunculkan bukti-bukti konkrit yang mengatakan bahwa Kardinal selama ini justru menyembunyikan kasus pencabulan anak-anak oleh Pastur dari masyarakat Boston ke permukaan.
Baron pun memilih tim Spotlight untuk melakukan semua tugas tersebut.


Tim Spotlight
---
Sebagai film bergenre misteri, sudah seharusnya film Spotlight (Spotlight) mampu memelihara kestabilan rasa penasaran penonton terhadap cerita di dalamnya. Selan itu, Spotlight juga dituntut untuk mampu menghadirkan kejutan-kejutan besar di setiap potongan misteri yang terungkap. Bahkan dalam level yang lebih tinggi, film misteri terbaik adalah film yang tidak membiarkan adrenalin penasaran penonton turun, meski secuil.
Dan dengan percaya diri saya mengatakan, Spotlight berhasil melakukan itu semua.
Spotlight mampu menstabilkan rasa penasaran penonton di level tinggi sejak film baru memasuki adegan-adegan awal. Adegan percakapan singkat antara seorang pastur dan seorang ibu di sebuah kantor polisi menjadi titik awal cerita, sekaligus menjadi titik awal rasa penasaran yang dicoba ditransfer film kepada penonton.
Secara personal, usaha tersebut berhasil memicu rasa penasaran saya tentang konflik seperti apa yang sebenarnya akan disajikan oleh Spotlight. Sensasinya kurang lebih sama dengan saat menyaksikan The Equalizer.
Rasa penasaran yang sudah dibangun tidak dibiarkan menggantung terlalu lama. Dalam waktu yang hanya sekitar 15 menit setelah film diputar, Spotlight sudah menjawab rasa penasaran tersebut secara inplisit melalui dialog-dialog antar tokoh. Dan dari sana pula, saya sudah bisa memprediksi ke mana jalan cerita Spotlight akan mengalir.
Menariknya, meski sudah mampu diprediksi dengan cukup jelas, tidak lantas membuat jalan cerita Spotlight menjadi membosankan. Karena ini film misteri, masih banyak ruang penuh kejutan yang sudah disiapkan oleh film. Dalam kasus Spotlight, ruang penuh kejutan tersebut tentu saja dalam bentuk pengungkapan bukti-bukti melalu proses-proses investigasi tim Spotlight terhadap kasus pencabulan anak oleh para pastur.
Proses-proses investigasi, seperti rapat dalam menentukan kasus yang akan diangkat, penelusuran para korban dan pelaku melalui berbagai sumber, lobying dan wawancara pihak-pihak yang dinilai terlibat, pencarian dokumen-dokumen resmi terkait, pengecaman oleh beberapa pihak, sampai kepada proses bagaimana usaha para jurnalis dalam mengorek setiap detail petunjuk dari para narasumber yang cenderung menutup diri untuk bicara, semua itu dihadirkan secara lengkap dan (seperti yang dibilang sebelumnya) full of shockness.
Spotlight juga mampu membangun emosi dengan sangat elegan. Maksudnya, rasa emosi tersebut tidak dibangun melalui adegan tangis, teriak marah, sedih yang berlebih, ataupun bentuk adegan dramatis mainstream yang berlebih lainnya, namun dalam sebuah formula yang justru jauh lebih mengena daripada itu semua.
Bayangkan saat kita tertimpa fakta-fakta menyakitkan di siang bolong yang tidak pernah terbesit sedikitpun dalam benak akan terjadi, dan kita yang seharusnya bisa mencegah atau menghindarinya, justru terlambat menyadari. Dan sampai di titik tertentu, kita menyesali apa yang sudah terjadi. Nah, kurang lebih bentuk emosi demikianlah yang dirasakan para jurnalis. And somehow, saya juga merasakan apa yang mereka rasakan.
Para jurnalis berkali-kali dibuat syok, nyesek, atas potongan-potongan petunjuk yang berhasil mereka ungkap. Di sepanjang film, penonton banyak disuguhkan adegan tertegun dari para tokoh yang seakan tidak percaya bahwa pelecehan seksual terhadap anak benar-benar sudah banyak terjadi di lingkungan di sekitar mereka tinggal, dan semua orang, termasuk institusi gereja sampai pihak berwajib, justru memilih bungkam.
It’s like there are so many anger things di dalam dada para jurnalis, but something that invisible hold them back inside.
Menariknya, rasa tertegun, nyesek, syok, benci, marah yang tertahan, dan rasa-rasa campur aduk lainnya yang begitu emosional dari para tokoh terasa sangat tulus (genue), seakan mereka mengalami langsung kejadian-kejadian di film. That’s why I love this movie so much. Dari poin tersebut sangat dirasakan, bahwa pemilihan pemeran menjadi salah satu penentu keberhasilan sebuah film.
Berbicara soal para pemeran yang dipilih dalam Spotlight, semuanya sukses dalam memerankan karakter seorang jurnalis.


Standing applause untuk Mark Ruffalo!
Di dalam deretan nama pemeran, ada nama Mark Ruffalo (sebagai Mickael Rezendes), yang mengubah nada, dan logat bicaranya. Suara yang dikeluarkan pun begitu alami, sehingga saya berani berasumsi bahwa orang-orang yang pertama kali melihatnya berperan melalui Spotlight, langsung menilai bahwa memang begitulah cara dia bicara.
Bahkan seiring berjalannya film, saya lebih menyukai karakternya sebagai jurnalis dibanding sebagai karakter-karakternya di film yang lain, termasuk sebagai Dr. Bruce Banner di film The Avengers. Oleh karena itu, saya rasa tidak berlebihan jika saya memberikan standing applause pada kemampuan perannya di Spotlight.
Lalu ada Rachel McAdams (sebagai Sacha Pefeiffer). Saya mulai memperhatikan kemampuan berperannya melalui film Southpaw. Namun di sana dia tidak mendapat banyak sorot kamera, sehingga saya tidak melihat ada yang istimewa darinya. Namun tidak demikian di Spotlight. Spotlight menyediakan banyak sorot kamere kepadanya, dan sekaligus memberikan ruang yang luas untuk berekspresi.
Hasilnya, dia sukses menjadi seorang jurnalis dengan karakter yang saya suka, mampu menggunakan nada bicara dan mimik wajah sesuai dengan situasi, dan dengan siapa dia bicara. Saya sangat menyukai kebiasannya yang suka memotong keterangan-keterangan para narasumber yang bertele-tele dengan cara menghunuskan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Seperti yang dilakukannya pada Billy Crudup (Sebagai Erin McCheilsh), salah satu pengacara yang membela para pastur.
Di tempat yang berbeda, saya sangat menyukai the way she shows her emphatie to the victims. Dan dari sana, dia bisa memabangun hubungan personal yang begitu kuat dengan para korban. Sampai pada akhirnya, dia bisa memperoleh banyak keterangan dari para korban.
Somehow dengan melihatnya, saya jadi teringat kepada beberapa reporter berita nasioanal di Indonesia yang tidak memperlihatkan simpatinya sedikitpun kepada narasumber selama proses wawancara dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tidak bermutu. Biasanya terjadi pada kasus-kasus yang sampai menghilangkan nyawa seseorang.    
She reminds me with Najwa Shihab. I think they have similar style in interviewing people
Anyway, kembali ke soal para pemeran. Untuk memuluskan kerja tim Spotlight, diperlukan seorang jurnalis senior yang selain dinilai paling cakap dalam investigasi, sekaligus mampu menjadi pemimpin. Peran itu dimainkan dengan apik oleh Michael Keaton (sebagai Walter Robbinson). Meski dia adalah pemain yang sudah sangat senior, saya baru benar-benar memperhatikannya setelah dia bermain peran di Spotlight. 2 tahun setelah bermain di Spotlight, dia mengambil peran sebagai The Vulture di Spiderman Home Coming.
Total, saya hanya memerhatikannya di 2 film tersebut. Namun lagi-lagi, saya lebih menyukai perannya sebagai jurnalis, editor, sekaligus pelobi yang handal dari sebuah perusahaan surat kabar, ketimbang seorang karakter villain bawah tanah yang berambisi membangun gudang senjata bawah tanahnya sendiri.
Satu lagi ada Brian James, satu-satunya aktor yang berperan sebagai jurnalis dalam tim Spotlight yang samasekali asing bagi saya. Dia yang bertanggungjawab dalam pengumpulan data-data temuan selama proses investigasi. Porsi keterlibatan di dalam film memang kecil, namun di dalam peliputan yang asli, dijelaskan bahwa dialah yang paling bekerja keras dalam membangun pusat informasi (database) dalam kasus ini.
Banyak nama-nama pemeran besar lainnya dalam film Spotligh, seperti Stanley Tucci (sebagai Mitchell Barabedian) dan dan Liev Schreiber (sebagai Marty Baron). Hal ini saya rasa memang menjadi salah satu hal yang ingin ditonjolkan oleh sang sutradara Tom McCarthy, karena Spotlight diharapkan akan menjadi proyek besar.
Hal itu diperkuat dengan Tom McCarthy dan tim yang membutuhkan waktu 4 tahun untuk riset, dan biaya 20 juta dollar dalam rangka penggarapan Spotlight. Penanaman modal tersebut pada akhirnya berbuah manis, setelah Spotlight mampu meraih total keuntungan sebesar 98,3 juta dollar, dan yang paling prestis, tentu saja berhasil terpilih sebagai Best Picture Oscar tahun 2016.
Dengan sekitar 120 menit durasinya, tentu saja Spotlight tidak mampu menunjukkan secara detail seluruh proses investigasi. Terdapat beberapa kisah liputan yang tidak dihadirkan pada film. Namun dengan penggarapan yang sangat serius, dan kemampuan orang-orang yang terlibat, seluruh proses investigasi oleh tim Spotlight yang tervisualkan melelaui sebuah film, sudah sangat cukup terwakilkan. Bahkan saya sendiri, at some points merasa, bahwa tidak ada yang terlewat dari sebuah proses investigasi yang sudah mereka lakukan.
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html