Eichiro Oda/alabn.com
Beberapa waktu yang lalu, saya baru
saja mendapat beberapa seri terbaru film anime One Piece dari seorang kawan.
Sudah sejak awal masuk perkuliahan saya mulai cukup rutin menjadikan film anime
sebagai hiburan. Dan bisa dikatakan, berpuluh-puluh judul anime dari
berbagai genre sudah saya tonton.
Namun dari berpuluh-puluh itu, hanya
One Piece yang benar-benar bisa melekat di benak (mungkin di hati juga) sampai
sekarang. Bukan sekedar disebabkan anime tersebut masih berjalan sampai
sekarang. Alasannya lebih daripada itu.
Sebagai catatan, periode awal masuk
kuliah saya adalah di tahun 2012. Dan di tahun tersebut sudah ada beberapa film
serial anime yang masih berjalan (on going) sejak dirilis pertama kali di
penghujung tahun 90-an dan pertengahan tahun 2000-an selain One Piece.
Beberapa yang paling populer adalah
Bleach dan Naruto. Saya memilih Bleach dan Naruto sebagai pembanding One Piece,
karena menurut saya keduanya merupakan pesaing teratas One Piece jika dilihat
dari segi panjang dan (yang terpenting) kualitas alur cerita.
Saya mengakui, bahwa saya terpikat
dengan kualitas alur cerita ketiga anime tersebut, semuanya begitu menarik
untuk diikuti. Namun patut disayangkan, ketertarikan saya tersebut hanya
tersisa untuk One Piece (dan itu bertahan sampai sekarang).
Sedangkan untuk Bleach dan Naruto,
semakin keduanya hendak mencapai akhir cerita, semakin menurun kualitas alur
cerita yang disajikan keduanya. Alhasil, pada saat itu juga, saya memutuskan
untuk menghentikan menikmati Bleach dan Naruto, meski keduanya masih menyisakan
sekitar seratusan episode lebih.
Untuk Bleach, alur cerita menarik
mereka berakhir saat Ichigo dan kawan-kawan sudah berhasil membebaskan Orihime
Inoue dan mengalahkan semua anggota Espada, termasuk sang pemimpin besar
mereka, Aizen.
Alur cerita setelah itu sudah kurang
menarik diikuti. Saya rasa penyebab utamanya adalah mindset saya
tentang Bleach yang sudah terlanjur terkotakan, bahwa Bleach selalu identik
dengan kelompoknya Ichigo melawan Espada.
Hal tersebut saya rasa sebenarnya
cukup wajar terbentuk pada mindset para penikmat bleach secara
umum, karena dari episode pertama hingga 300-an, alur cerita utama Bleach
memang diarahkan pada pertarungan akhir kelompok Ichigo melawan Espada. Di saat
karakter-karakter Espada yang terlanjur melekat dengan Bleach terganti oleh
villain lain, Bleach sudah seperti kehilangan salah satu unsur terpentingnya.
Pada saat itu juga, mood menonton Bleach saya pudar, lalu memutuskan untuk
berhenti menikmatinya.
Sedangkan untuk Naruto. Sejujurnya
saya merasa kalau alur cerita Naruto baru bisa benar-benar dinikmati saat sudah
memasuki serial Naruto Shippuden. Alasan yang pertama adalah banyak misteri
sejarah dunia ninja yang mulai terkuak. Yang paling epik menurut saya, adalah
terkuaknya latar belakang pembantaian orang-orang dari Klan Uchiha oleh Uchiha
Hitachi.
Alasan yang kedua (dan ini yang
paling menentukan cerita akhir Naruto Shippuden), kemunculan organisasi
Akatsuki, yang menempati posisi penting sebagai villain utama
di serial ini. Dengan kemunculannya di banyak episode, sudah menjadikan
Akatsuki sebagai identitas penting Naruto Shippuden (layaknya Espada pada
Bleach). Dengan kemunculannya pula, cerita akhir serial Naruto Shippuden sudah
mulai bisa diprediksi dengan jelas, yakni cerita berakhir saat semua anggota
Akatsuki sudah kalah.
Nah, Beberapa hal yang membuat cerita
Naruto kurang menarik lagi untuk diikuti, adalah kemunculan villain lain
yang tidak memiliki keterkaitan kuat dengan alur cerita yang sudah tersaji
beratus-ratus episode sebelumnya, tetapi justru dijadikan sebagai villain utama
di akhir cerita.
Taruhlah kemunculan kembali Uchiha
Madara. Saat dibangkitkan kembali dari kematian, Madara memang bisa dikatakan
menjadi saksi sejarah awal perkembangan dunia ninja, namun tetap saja porsi
kemunculan Madara tidak setajam dan semendalam organisasi Akatsuki.
Satu lagi alasan yang membuat saya
cukup kecewa dengan alur cerita Naruto Shippuden, adalah kemunculan Kaguya
Otsutsuki, yang malah sukses menyingkirkan Madara, yang sebelumnya menempati
posisi penting sebagai villain utama. Sejujurnya, saya sendiri mendapat
informasi kemunculan Kaguya hanya dari hasil membaca artikel di sebuah situs.
Mungkin dikarenakan saya sudah berhenti menikmati Naruto Shippuden jauh sebelum
kemunculan Kaguya.
Dalam hal ini, saya masih cukup
memaklumi kemunculan Madara, karena setidaknya dia sudah pernah dimunculkan di
beberapa episode Naruto dan Naruto Shippuden, meski pada porsi yang relatif
kecil. Namun tidak dengan kemunculan Kaguya, yang sama sekali tidak pernah
dimunculkan di alur cerita sebelum-sebelumnya. Saya menilai, bahwa
kemunculannya hanya sekedar untuk memperpanjang cerita Naruto Shippuden yang
sejatinya sudah tamat sejak Uchiha Madara dikalahkan.
Nah, kalau dicermati lebih mendalam,
kedua anime tersebut (dan banyak anime lain yang beralur cerita panjang)
memiliki pola penceritaan yang sama: memunculkan villain utama, lalu cerita
akan tamat jika villain tersebut sudah dikalahkan. Menariknya, pola penceritaan
tersebut tidak saya temukan pada One Piece.
Oleh karena itu, saya berani
meyakini, bahwa Eichiro Oda (Oda-san) lewat One Piece-nya, patut dinobatkan
sebagai mangaka terbaik dalam hal menemukan serta mengembangkan ide cerita.
Untuk penjelasan yang lebih detail terkait hal tersebut, mari kita petakan
terlebih dulu 3 kekuatan besar yang berkonflik di dalam dunia One Piece: Bajak
laut, pemerintah dunia (angkatan laut), dan pasukan revolusiner.
Sebagai penikmat One Piece, saya
merasa, bahwa saya tidak bisa menilai secara egois bahwa pemerintah dunia
adalah villain murni di dalam One Piece, meski sudah banyak fakta yang menunjukkan
banyaknya kebobrokan yang terjadi di kursi pemerintahan dunia, terutama yang
dilakukan oleh para Tenryubito.
Sebagai permisalan, jika pemerintah
dunia kita sejajarkan pada posisi yang sama dengan Akatsuki di Naruto Shippuden
atau Espada di Bleach (sebagai villain utama yang harus dikalahkan), maka
kondisi dunia di dalam One Piece akan kacau sekacau-kacaunya saat Pemerintah
Dunia dikalahkan, karena nantinya di akhir cerita tidak ada lagi kelompok yang
mampu mengontrol secara luas kebringasan para bajak laut.
Begitu juga jika saya menempatkan
pasukan revolusioner sebagai villain, meski mereka adalah oposisi pemerintah
dunia, namun tidak sedikit pula konflik yang meledak antara mereka dengan
beberapa kelompok bajak laut (seperti konflik mereka dengan Bajak Laut
Kurohige, misalnya). Dan rasanya, saya juga tidak bisa menempatkan bajak laut
sebagai villain murni, mengingat karakter utama dalam One Piece yang seorang
bajak laut.
Lalu pertanyaan yang muncul, siapa
yang lebih pantas dikalahkan untuk bisa mengakhiri cerita alur cerita One
Piece?
Nah, pada poin ini lah mengapa saya
berani mengatakan sebelumnya, bahwa Oda-san patut dinobatkan sebagai mangaka
terjenius dalam menemukan dan mengembangkan ide cerita. Dia tidak menempatkan
kelompok tertentu untuk dikalahkan (villain) untuk mengakhiri cerita One Piece,
melainkan menempatkan “sebuah tujuan yang harus dicapai” untuk mengakhiri
cerita.
Iya, Oda-san baru akan mengakhiri
cerita One Piece saat ada salah satu karakter di dalamnya bisa mencapai tujuan
tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan adalah harta karun One Piece. Dengan
kata lain, Oda-san memilih konsep sebuah petualangan (an advanture) pada
karyanya tersebut. Hal tersebutlah yang menurut saya jarang atau bahkan tidak
dimiliki oleh anime-anime lain.
Sebagai catatan tambahan, sebenarnya
ada juga mangaka yang memiliki pandangan ide serupa dengan Oda-san, yakni Akira
Toriyama lewat Dragon Ball-nya. Narasi utama dari Dragon Ball adalah
petualangan kelompok Son Goku dalam menemukan 7 bola naga.
Namun sayangnya, narasi utama
tersebut tidak dijadikan klimaks dari cerita Dragon Ball itu sendiri, melihat
Toriyama-san masih terus melanjutkan cerita Dragon Ball meski Son Goku dan
kelompoknya sudah berhasil menemukan 7 bola naga yang dimaksud. Fokus cerita
dari Dragon Ball justru tidak kepada 7 bola naga sesuai yang dinarasikan,
tetapi lebih kepada misi menyelematkan bumi dari musuh-musuh yang menyerangnya.
Kembali kepada Oda-san dengan One
Piece-nya. Berkat konsep petualangan yang diusungnya, maka dunia One Piece
terasa begitu luas, bahkan nyaris tanpa batas. Tempat-tempat dan
karakter-karakter yang dimunculkan Oda-san begitu beragam.
Ditambah, Oda-san selalu memperkuat
identitas tempat dan para karakter di dalamnya yang ditemui di tiap petualangan
karakter utama One Piece (Bajak Laut Topi Jerami) dengan deskripsi dan
cerita-cerita masa lalu yang detail, sehingga membuat para penikmat One Piece,
khususnya saya, benar-benar paham dengan apa yang sedang dinikmati. Tidak lupa
juga, dia juga memberi banyak kejutan dengan banyak menampilkan pertalian
ikatan masa lalu (sejarah) antara karakter yang satu dengan yang lain.
Untuk versi anime, One Piece sudah
berhasil menembus angka fantastis, yakni 800 episode. Di angka yang sudah
terbilang fantastis untuk ukuran episode film anime, alur cerita One Piece
masih sangat layak untuk dinikmati.
Saya memprediksi, bahwa angka tersebut
akan terus bertambah, bahkan bisa mencapai angka 1000 lebih, karena melihat
masih banyak karakter dan tempat di dunia One Piece yang belum dimunculkan
Oda-san secara penuh. Serta tidak ketinggalan juga masih banyak misteri yang
belum terpecahkan, seperti misteri “The Will of D”, misalnya, yang kerap kali
justru menjadi ajang perdebatan para penggemar One Piece.
Melihat beberapa hal yang sudah
diurai di atas, sekali lagi, Oda-san lewat One Piece-nya sangat layak
dinobatkan sebagai mangaka terbaik dalam segi menemukan dan mengembangkan ide
cerita. Dalam menilai hal tersebut, mau tidak mau saya harus membandingkannya
dengan Anime yang lain, dan pilihan saya jatuh kepada Bleach dan Naruto (Naruto
Shippuden). Mengingat keduanya juga memiliki alur cerita yang cukup panjang,
jika dibanding anime-anime yang lain.
Sebagai penyuka film, termasuk anime
di dalamnya, kedudukan ide dan alur cerita sebuah film menjadi priotas utama
saya dalam memilih dan memilah bahan tontonan. Dan Oda-san melalu One Piece-nya
sudah dengan secara total menyediakan bahan tontonan yang saya inginkan.
“Arigatou, Oda-san!” Atau saya harus memanggilnya, “Oda-sama!”
0 comments:
Post a Comment